Lila, Sayap Ibu Dan Kematian
Lila, Sayap Ibu Dan Kematian
Prosa Liris Titon Rahmawan
Seperti sebuah cerita, Lila mengisahkan dirinya. Dari bibirnya mengalir sebuah lorong, tiada menera apa-apa selain hampa dan kesunyian. Seperti berusaha menemu arti kebahagiaan sekali lagi, seperti sepotong luka yang ingin menghirup wangi udara dari remah-remah mimpi. Sedang tak ada mimpi bagi orang-orang yang tak pernah tertidur. Tinggal Lila sendiri sibuk meratapi luka yang tak hendak tertutup, luka yang tak hendak lelap oleh lapar dan kantuk.
Lila tak hendak menceritakan kisah yang lain selain dirinya, kisah yang ingin ia tulis sebagai satu-satunya kenangan bagi sang waktu. Ibu yang memiliki segala-galanya. Tapi serupa jurang yang menganga menunggu tubuhnya jatuh meluncur, ia tak pernah menemu dasar, bahkan ia tak pernah menemu jalan untuk menuliskan dirinya kembali. Tak ada dawat yang cukup kental untuk menyatakan luka-lukanya, tak ada pena yang cukup tajam untuk mendedah kesunyiannya. Begitulah, seperti sebuah kisah yang tak pernah selesai dituturkan, Lila merubah insomnia sebagai satu-satunya cara untuk menafsirkan kepedihan.
Serupa angin, ibu masih suka mengajaknya berjalan mengarungi senja atau menjemput fajar. Ketika usia masih belum menera kesendirian di dada Lila, ketika tangan lembut ibu masih sering mendekap tubuhnya. Dan harum samar yang terbit dari kulit ibu seperti kuncup melati yang mekar di pekarangan, menjalar di pagar bambu, dan menciptakan lanskap cantik tepat di depan jendela kamar Lila. Masih serupa angin, ibu sering berbisik ke dalam telinganya. Menuturkan puluhan cerita, mendendangkan ratusan lagu. Tak sempat mengingat ada temaram kabut di mata ibu, atau sesayap nyeri menggeliat dalam dadanya. Begitulah ibu menanam pokok melati itu di hati Lila, bersama tawa dan kegembiraan. Merangkum sunyi dan perih di dalam lembut tetesan hujan. Tiada henti mengalir, mengguyur tubuh Lila, membasahi tunas-tunas muda dalam hatinya.
Namun serupa hujan membawa kelam langit mendung, ada kelopak-kelopak bunga melati yang gugur, ranting yang runduk di dalam cemas dan basah daun-daun. Membaca wajah ibu, membaca luka waktu. Kerjap kilat di langit, dan gemuruh guruh pecah di awan-awan. Menanda nyeri di dada Lila.
Sekiranya saja ibu bisa menjelma di setiap putaran waktu, maka tak perlu ada kesedihan… Desah angin membelai kepala Lila. Dan rumpun melati itu menjadi basah oleh genangan hujan yang tak putus-putus turun dari langit.
Tepat di detik itu, Lila melukis senyap bersama bayangan ibu. Berlalu dari dalam rumah melewati ruang tamu, lalu membuka pintu. Melewati halaman dan riuh jalan raya sebelum henti di bawah pokok kamboja, henti di dalam lengang batu-batu tempat menanda dunia orang mati. Tak ada karangan bunga, hanya rintik gerimis dan gugur daun-daun. Serpih ingatan yang menyentuh rumpun bambu di pekarangan, umpak yang pecah dan pagar yang nyaris roboh. Semuanya berbicara kepada Lila; setelah waktu, setelah detik itu berlalu, semua menggumamkan kematian, mengalunkan tembang yang entah berasal darimana, dari dunia yang jauh. Suara yang luruh bersama gerimis. Telah tumbuh sepasang sayap di punggungmu Ibu, tapi mengapa kau tinggalkan diriku sendiri saja?
Tak ada jawaban dari bibir ibu, hanya senyum yang menanda senyap. Mungkin ada sesayap nyeri yang sempat melintas, angin dingin menerpa wajah Lila dan mencuri ingatan di dalam benaknya, menghapus tangis dari pipinya. Namun kosong itu seperti enggan berlalu dari dalam hati. Bercokol begitu dalam, membawanya berjalan memasuki lorong tanpa ujung, waktu yang berulang dan terus berulang menulis ibu, bicara ibu, meneriakkan ibu. Waktu yang tiada henti menggali nyeri, berputar kembali tepat di detik itu. Lila menggambar senyap bersama bayangan ibu. Berlalu dari dalam rumah melewati ruang tamu, lalu membuka pintu. Melewati halaman dan riuh jalan raya sebelum henti di bawah pokok kamboja, henti di dalam lengang batu-batu tempat menanda dunia orang mati.
Sekiranya rembulan bisa bercakap, atau menulis peristiwa itu sekali lagi. Ia akan sempat menemu angin di atas hamparan awan mendung dan senja yang membeku di langit, sibuk melukis titik-titik hujan yang membuat telaga dalam tubuh ibu. Gerimis yang gugup dan tak berani mengangkat muka untuk menatap sisa harap dalam pejam matanya. Barangkali masih ada getar dedaunan di luar sana. Karena wajah ibu masih serupa Lila, kuncup seroja di tengah taman, batu-batu berlumut, jendela-jendela tertutup dan bunga bugenvil di atas pergola merenda hati dari benang-benang kesunyian. Hamparkan resah, seorang kanak-kanak dengan gemuruh air terjun dalam dadanya. Menera gersik pasir dan runcing kerikil, mengusik waktu yang sejenak terdiam, dengung nyamuk dan suara katak melangkah ke gerbang makam. Berusaha menghapus perih di mata. Desah yang kemudian melompat, mengetuk pintu jendela malam perlahan sebelum menelusup di bawah bayang-bayang rembulan. Sepenuh hasrat Lila mencium wajah senyap yang terlanjur lekat di garis bibir ibu yang pucat kebiruan.
Menatap wajah ibu di gerbang waktu, melontarkan Lila ke dalam mimpi; deru debu, derak suara dokar, ringkik kuda dan hamparan sawah masa lalu. Sekumpulan bocah seumur Lila gembira bermain gundu dan lompat tali, menangkap pias wajah rembulan di remang senja. Menelusuri jalanan berbatu pulang ke rumah ibu, kepada kampung halaman, kepada hamparan ladang, kelok pematang sawah dan rumpun bambu di kejauhan. Rindu masih menera bunyi sekali lagi, semilir angin, merdu suara tekukur, dan sisa tawa kanak-kanak yang mengabur bersama debu dan roda yang berputar. Menggenggam tangan ibu, dalam kehangatan yang tiada henti terpancar dari teduh matanya. Serupa melankoli, memanggil waktu pulang kembali, keping hasrat dan kerinduan. Seri wajah ibu dan rumah kakek melambai di kejauhan.
Menatap wajah ibu di gerbang waktu membuat Lila entah mengapa ingin tertawa, seperti sedang mengingat kembali sebuah kisah lucu dimasa kanak-kanak. Waktu yang memerangkap dirinya di dalam almari, dalam gantungan baju-baju dan sepotong fajar yang tersemat di dinding. Ada remang cahaya yang berpendar di sana membunyikan musik di dalam gelap, dalam tarian sepasang angsa yang berenang di dalam genangan kerinduan. Dalam latar sebuah lanskap berwarna putih dan seorang ibu dengan sepasang sayap. Lila tak pernah menangis semenjak itu, seperti hendak melupa perih waktu yang pergi bersama ibu dan meninggalkan tetesan gerimis di atas tempat tidurnya.
Tak ada sayap-sayap pelangi yang lebih cemerlang dari milik ibu, ia yang menyimpan senyum di sela-sela bulu sayapnya dan tubuh mimpi yang terbaring dalam cahaya fajar. Membuka jendela dan menghirup seluruh udara cinta yang tersebar dari ranting-ranting pohon dan semak-semak forget me not. Dingin embun yang selalu menyentuh hati Lila. Dan rumah mungil itu seperti melampaui semua cerita masa kanak-kanak, ia yang tak lagi menangisi kesendirian. Ia yang telah merangkum sunyi menjadi bagian abadi dan paling rahasia dalam hatinya. Serupa ikan yang berenang di dalam kolam di belakang rumah, serupa batu-batu berlumut, dan riak yang terpecah dari air yang mengalir dari tabung bambu. Lila telah tenggelam dalam pusaran waktu, berusaha melupa airmata kesedihan dan perihnya kematian. Sayu wajah ibu yang mengabur di remang kabut sebelum kemudian menghilang tertawan gelap.
Mei 2006